Jumat, 29 Oktober 2010

Hikmah di balik musibah

Musibah emang bisa bikin susah. Tapi jangan keterusan bikin hati gundah. Karena ternyata Allah menyiapkan hikmah di baliknya. Hadapi Dengan Senyuman.

Kalo bisa milih, kagak bakal ada remaja yang sudi menerima bencana. Mana ada dong orang yang mau rumahnya diacak-acak gelombang tsunami, mobilnya digulung tornado, atau orang-orang terkasihnya ditelan gempa tektonik. Kagak bakal ada yang mau, bro!
Manusia itu tipikalnya emang seneng banget dengan yang namanya happyness. Pengennya seneng en bahagia selalu. Jadi mahluk yang namanya musibah kagak didemenin ama banyak orang. Termasuk oleh remaja.
Tapi gimana bisa kita milih? Lha wong tahu-tahu gelombang tsunami udah ada di depan mata. Atau gimana bisa nyelametin rumah kita kalau dalam sekejap mata tanah udah belah karena hentakan gempa tektonik. Hidup itu terkadang emang nggak bisa memilih.


Kalo kita pikir-pikir, ternyata hidup ini emang ada siklusnya; ada siang ada malam, ada mentari ada simpati eh rembulan maksudnya, dan ada tawa ada duka. Allah Swt. nggak hanya memberikan kesenangan hidup buat umat manusia, tapi juga ngasih sesuatu yang bisa bikin manusia terhenyak lalu bercucuran air mata duka.
Guys, itu semua kata orang-orang alim dan soleh adalah sunnatullah. Sesuatu yang emang udah ditakdirkan oleh Allah sebagai bagian kehidupan yang udah pasti menimpa manusia. Misalnya, ada kelahiran ada juga kematian. Ketika ada bayi yang lahir, orangtuanya kan pasti gembira bin sumringah. Tapi ketika orang yang dikasihi meninggal, pastinya bersedih. Dan ternyata itu terjadi setiap saat dalam kehidupan kita. Nggak ada orang yang bisa menolak kelahiran dan kematian. Semua udah ditakdirkan oleh Allah Swt. FirmanNya: 
“Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia.”(QS Maryam [19]: 35)
Tapi apa iya Allah tega melihat mahlukNya menderita? Pasti tidak, tapi Allah memang selalu ngasih yang namanya ujian hidup buat manusia yang beriman. Kalo ada manusia yang beriman, maka Allah pengen tahu seperti apa sih keimanannya; beneran atau palsu? Tinggi atau rendah? Allah Swt. berfirman:  
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS al-’Ankabuut [29]: 2)
Ujian yang berupa musibah itu macam-macam bentuknya; mulai dari yang kecil sampe yang gede. Mulai hati yang resah, badan yang cape en pegel-pegel, sampai musibah besar seperti yang menimpa saudara-saudara kita di berbagai daerah. Termasuk serangan si biadab Israel ke Palestina dan Libanon adalah ujian dari Allah untuk umatNya. Rasulullah saw. bersabda:  
“Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan atau penyakit atau kesusahan hati, bahkan gangguan yang berupa duri melainkan semua kejadian itu akan berupa penebus dosa.” (HR Bukhari, Muslim)
Tapi gimana dong, kan nggak semua orang tahan menghadapi ujian atawa musibah? Jangan khawatir, guys. Semua ujian itu ternyata udah diatur oleh Allah agar sesuai dengan kekuatan iman masing-masing. Allah menjelaskan dalam ayatNya: 
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS al-Baqarah [2]: 286)
Nabi saw. bersabda: “Ujian yang paling berat adalah bagi para nabi, kemudian berikutnya dan berikutnya, seseorang diuji (oleh Allah) sesuai kadar agamanya. Maka tidaklah musibah menimpa seseorang sehingga ia berjalan di atas bumi dan tidak ada dosa padanya.” (HR Bukhari)
Pelajaran empati
Orang-orang yang soleh juga mengatakan kalau hal seperti itu adalah cara cerdas dari Allah untuk bikin manusia menikmati hidup. Maksudnya, kalo kita nggak pernah ngalamin yang namanya musibah, kita nggak bakal tahu cara bersyukur nikmat. Contohnya nih, kalo kita nggak pernah sakit gigi, kita mungkin suka lupa betapa nikmatnya punya gigi sehat yang bisa ngunyah makanan kesukaan kita.
Selain itu, dengan adanya bencana yang menimpa manusia, kita diajarkan untuk bisa berempati pada penderitaan orang lain. Turut merasakan derita orang lain, karena kita juga pernah mengalami penderitaan yang serupa. Mereka yang hidupnya selalu hedonis, selalu mikirin dan nyari kesenangan ragawi, rada susah diajak untuk berempati. Pasalnya, hidup abis untuk ngedugem en having fun.
Dalam buku Kebun Hikmah, dikisahkan ada seorang wanita salehah yang gemar bersedekah. Tapi kebiasaannya itu justru ditentang oleh keluarganya. Sampai suatu ketika keluarganya memutuskan untuk tidak memberinya nafkah. Tujuannya memberi pelajaran supaya dia menghargai harta dan tidak banyak bersedekah. Akhirnya ia pun jatuh fakir.
Melihat saudaranya menderita, keluarganya menjadi iba. Akhirnya mereka memberinya lagi nafkah berupa shirmah (unta berjumlah sekitar 20-30 ekor). Suatu ketika datang seorang pengemis yang mengiba-iba. Wanita itu langsung saja memberinya seluruh unta yang diberikan keluarganya karena ia pernah merasakan derita sebagai orang fakir. Subhanallah!
Jadi di balik bencana – sekecil apapun itu – Allah ingin memberikan pesan yang indah; mensyukuri nikmat Allah yang ada dan bisa berempati pada penderitaan orang lain.
Orang kafir nggak?
Pernah nggak kepikiran, kenapa justru bencana sering menimpa orang baik-baik dan beriman, sementara orang-orang kafir justru baek-baek aja?
Hmm, wajar deh ada pertanyaan macam itu. Kalo kita liat betapa susahnya perjuangan dakwah Nabi saw., aduh sedih dan gemes. Ternyata dakwah itu berliku dan penuh kerikil tajam. Sering banget Nabi saw. dan para sahabat mendapatkan intimidasi dan siksaan fisik dari orang-orang kafir. Bahkan sewaktu ke Thaif, beliau mendapatkan serangan batu dari penduduknya. En ternyata, Allah Swt. kemudian memberitahu kepada beliau kalau para nabi dan rasul terdahulu juga mengalami nasib serupa. FirmanNya: “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.” (QS al-An’aam [6]: 34)
Sementara itu, para pemimpin Quraisy seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan Walid bin Mughirah hepi banget menyiksa dan melihat derita kaum muslimin.? Kita juga sering ngeliat banyak orang jahat dan kafir yang hidupnya nampak hepi. Bergelimang harta dan popularitas. Apa kagak salah Allah ngasih itu semua?
Nggak, guys. Sama sekali nggak salah. Di balik pemberian Allah yang nampaknya nikmat, sebetulnya tersembunyi laknat. Allah tuh sengaja memberikan itu semua agar mereka makin terbuai dalam kejahatannya lalu Allah bakal ngebales perbuatan mereka dengan azabNya yang pedih. FirmanNya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS an-Nisaa [4]: 115)
  Di balik aneka musibah itu Allah tengah menyiapkan aneka kebaikan dan pahala yang luaaar biasa, jika kita mau bersabar dan tetap berkeyakinan kalo Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Syekh Ahmad Yasin - Pejuang Palestine

    Syekh Yasin, nama lengkapnya Syekh Ahmad Ismail Yasin lahir tahun 1938 di desa Al-Jura, sebelah selatan kota Gaza, syahid pada saat sedang puasa sunah Senin- Kamis, hari Senin, 1 Shafar 1425 H/ 22 Maret 2004 M karena dihantam rudal penjajah Zonis Israel setelah melaksanakan sholat subuh berjama’ah di masjid Al-Mujama’ Al-Islami, Gaza
Syekh Ahmad Yasin merupakan tokoh spiritual gerakan Hamas, Qiyadah/ pemimpin bagi pejuang dan rakyat Palestina melawan penjajah Zionis Israel.
Walaupun usianya uzur, kondisi tubuhnya lumpuh dari leher hingga ujung kaki, setiap hari harus menggunakan kursi roda, tidak menghalangi beliau untuk berdakwah, memimpin dan membina umat, rakyat Palestina khususnya di Gaza.
Beliau memiliki ‘izzah/ kemuliaan sehingga disegani dan dicintai kawan, ditakuti lawan dalam hal ini penjajah Zionis Israel.
Sebagai tokoh spiritual dan qiyadah dalam perjuangan, Syekh Ahmad Yasin banyak memberikan keteladanan bagi pengikutnya dan rakyat Palestina, juga bagi umat Islam yang rindu syahid di jalan Allah.
Dalam suatu khutbahnya, Syekh Ahmad Yasin pernah berkata: Umat ini tidak akan pernah memiliki kemuliaan dan meraih kemenangan kecuali dengan Islam. Tanpa Islam tidak pernah ada kemenangan. Kita selamanya akan selalu berada dalam kemunduran sampai ada sekelompok orang dari umat ini yang siap menerima panji kepemmpinan yang berpegang teguh kepada Islam, baik sebagai aturan, prilaku, pergerakan, pengetahuan, maupun jihad. Inilah satu-satunya jalan. Pilih Allah atau binasa!
Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS: Al-Imran/3: 126).
Suatu ketika ada seorang penganut Kristen di kota Ramallah, Tepi Barat, Bassam Hana Rabbah namanya. Dia datang menemui Syekh Ahmad Yasin untuk mengadukan permasalahannya karena ada seseorang di Gaza melakukan penipuan terhadap dirinya. Syekh Ahmad Yasin yang juga pimpinan Dewan Islah (perdamaian) dengan bijaksana mampu mendamaikan antara Bassam Hana Rabbah seorang Kristen dengan seseorang yang telah melakukan penipuan.
Syekh meresponnya dengan serius, bahkan mampu bersikap adil terhadapku. Hak-hak saya pun bsa kembali saya nikmati. Sebagai tanda terima kasih, sebagian hartaku diberikan kepada Dewan Islah, tutur Hana Rabbah.
Sebagai seorang Qiyadah/pemimpin, Syekh Ahmad Yasin tidak cinta dunia, tidak gila harta, bahkan kehidupannya sangat sederhana.
Mariyam Ahmad Yasin menceritakan tentang sikap hidup ayahnya:
Rumah ayah terdiri dari 3 kamar dengan jendela yang sudah rapuh. Rumah ini sangat sederhana sekali. Ini fakta bahwa ayahku tak cinta dunia, namun cinta akhirat. Banyak yang menawari beliau untuk memiliki rumah seperti pejabat tinggi negara, namun ditolaknya. Bahkan pernah suatu ketika, Pemerintah Otoritas Palestina memberi sebuah rumah besar di suatu kampung mewah di Gaza, . Namun Tawaran itupun di tolak, ia tidak peduli dengan berbagai ragam bentuk kesenangan duniawi.
Rumah ini sangat sempit. Tidak ada lantai, dapurpun ala kadarnya. Jika musim dingin, kami kedinginan. Namun jika musim panas tiba, kami pun kepanasan. Ayah sama sekali tidak memikirkan untuk merenovasi rumahnya. Ia justru sibuk mempersiapkan rumah di akhiratnya. Adapun kondisi psikis, Alhamdulillah, kami cukup sabar, karena kami percaya. Insya Allah, kami akan melihatnya lagi di surgaNYa nanti. Untuk itulah kami juga sangat berharap bisa mati syahid seperti beliau.
Jika Syekh Ahmad Yasin ingin kaya, harta menumpuk, rumah mewah bertingkat, mobil mengkilat lebih dari empat, makanannya serba lezat, semuanya bisa saja beliau dapatkan, bukankah beliau mempunyai pengikut yang taat, kedukukan yang memikat, akan tetapi semuanya itu tidak beliau lakukan untuk memperkaya diri di tengah pengikut dan rakyatnya yang sedang sengsara dan menderita, akibat penjajah, sekali lagi tidak!
Syekh Ahmad Yasin memiliki iman dan perasaan yang tinggi, beliau sangat cinta dan peduli kepada umat yang pada hakekatnya adalah umat Nabi Muhammad saw.
Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS:An Nisaa/4: 69).
Apakah kita semua telah meneladani beliau yang hidup sebagaimana kehidupan Rasul SAW dan para shahabatnya? Yang lebih mencintai akherat ketimbang kehidupan dunia yang murah dan menipu? Yang lebih menyukai debu-debu jihad daripada mobil-mobil mewah mengkilat? Di manakah kita sekarang? (*)
by H. Ferry Nur, S.Si, ( Sekjen Kispa )

Habib Ali bin Abdurahman Al Habsyi (Kwitang)

    Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi adalah putera dari Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Ayah beliau tinggal di Jakarta. Ibunda beliau yaitu Nyai Salmah berasal dari Jatinegara, Jakarta Timur. Dalam perkawinannya dengan Al-Habib Abdurrahman Al-Habsyi lama sekali tidak memperoleh seorang putera pun. Pada suatu ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah mimpinya itu kepada suaminya.

Mendengar mimpi istrinya, Al-Habib Abdurrahman segera menemui Al-Habib Syeikh bin Ahmad Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Al-Habib Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi tersebut bahwa Nyai Salmah istri Al-Habib Abdurrahman akan mendapatkan seorang putra yang saleh dan ilmunya akan melimpah-limpah keberkatannya.

Apa yang dikemukakan oleh Al-Habib Syeikh itu tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil ‘Awal 1286 bertepatan tanggal 20 April 1870 lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman Alhabsyi.

Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke Rahmatulloh ketika putra beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut.

Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali Alhabsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak meninggalkan harta benda apapun. Dalam usia 10 tahun berangkatlah Al-Habib Ali Alhabsyi dari Jakarta menuju Hadramaut, dengan bekal sekedar ongkos tiket kapal laut sampai di tempat yang dituju.

Sesampainya di Hadramaut, Al-Habib Ali sebagai seorang anak yang sholeh, tidak mensia-siakan masa mudanya yang berharga itu untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, sambil mencari rizki yang halal untuk bekal hidup beliau selama menuntut ilmu di tempat yang jauh dari ibunya. Sebab beliau menyadari bahwa ibunya tidak mampu untuk mengirimkan uang kepada beliau selama menuntut ilmu di luar negeri tersebut.

Diantara pekerjaan beliau selama di Hadramaut dalam mencari rizki yang halal untuk bekal menuntut ilmu ialah mengambil upah menggembala kambing. Pekerjaan menggembala kambing ini rupanya telah menjadi kebiasaan kebanyakan para sholihin, terutama para Anbiya’. begitulah hikmah Ilahi dalam mendidik orang-orang besar yang akan diberikan tugas memimpin umat ini.

Diantara guru-guru beliau yang banyak memberikan pelajaran dan mendidik beliau selama di Hadramaut antara lain :

Al-’Arif billah Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi (Shohibul maulid di Seiwun)

Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-’Attos (Huraidha)

Al-Habib Al-Allammah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)

Al-Habib Ahmad bin Hasan Alaydrus (Bor)

Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Guwairah)

Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi (Ghurfah)

Al-Habib Muhammad bin Sholeh bin Abdullah Alatas (Wadi Amed)

As-Syeikh Hasan bin Mukhandan (Bor)

Setelah belajar di Hadramaut, beliau melanjutkan pelajaran di tanah suci Makkah, dibawah didikan ulama-ulama besar disana, diantaranya :

Mufti Makkah Al-Imam Muhammad bin Husin Alhabsyi

Sayid Bakri Syaththa’

As-Syeikh Muhammad Said Babsail

As-Syeikh Umar Hamdan

Berkat doa ibu dan ayah beliau, juga berkat doa para datuk-datuk beliau, terutama datuk beliau Rasullulloh SAW, dalam masa 6,5 tahun belajar di luar negeri Al-Habib Ali telah memperoleh ilmu Islam yang murni, luas dan mendalam yang dibawanya kembali ke Indonesia.

Meskipun demikian, beliau adalah seorang yang tidak sombong atas ilmunya. Beliau tidak menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya sudah cukup. Beliau masih dan selalu mengambil manfaat dari para alim ulama yang ada di Indonesia saat itu. Beliau mengambil ilmu dari mereka. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah :

Al-Habib Muhammad bin Thohir Alhaddad (Tegal)

Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya)

Al-Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Empang, Bogor)

Al-Habib Husin bin Muhsin Asy-Syami Alatas (Jakarta)

Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhor (Bondowoso)

Al-Habib Ahmad bin Muhsin Alhaddar (Bangil)

Al-Habib Abdullah bin Ali Alhaddad (Bangil)

Al-Habib Abdullah bin Usman Bin Yahya (Mufti Jakarta)

Selain menuntut ilmu, beliau juga aktif dalam mengembangkan dakwah Islamiyyah, mengajak umat Islam untuk mengikuti ajaran-ajaran Islam yang suci dengan dasar cinta kepada Alloh dan Rasul-Nya SAW.

Selain di pengajian tetap di majlis ta’lim Kwitang yang diadakan setiap hari Minggu pagi sejak kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang dengan kunjungan umat Islam yang berpuluh-puluh ribu, beliau juga aktif menjalankan dakwah di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung. Selain itu Al-Habib Ali Alhabsyi juga berdakwah ke Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Srilangka dan Mesir. Beliau juga sempat mendirikan sebuah madrasah yang bernama Unwanul Ulum. Beliau banyak juga mendirikan langgar dan musholla, yang kemudian diperbesar menjadi masjid. Selain itu beliau juga sempat menulis beberapa kitab, diantaranya Al-Azhar Al-Wardiyyah fi As-Shuurah An-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi As-Shalawat ala Khair Al-Bariyyah.

Beliau selain ahli dalam menyampaikan dakwah ilalloh, beliau juga terkenal dengan akhlaknya yang tinggi, baik terhadap kawan maupun terhadap orang yang tidak suka kepadanya. Semuanya dihadapinya dengan ramah-tamah dan sopan santun yang tinggi. Terlebih lagi khidmat beliau terhadap ibunya adalah sangat luar biasa. Dalam melakukan rasa bakti kepada ibunya sedemikian ikhlas dan tawadhu’nya, sehingga tidak pernah beliau membantah perintah ibunya. Biarpun beliau sedang berada di tempat yang jauh, misalnya sewaktu beliau sedang berdakwah di Surabaya ataupun di Singapura, bila beliau menerima telegram panggilan dari ibunya, segera beliau pulang secepat-cepatnya ke Jakarta untuk memenuhi panggilan ibunya tersebut.

Maka tidak heran apabila ilmu beliau sangat berkat, dan dakwah beliau dimana-mana mendapat sambutan yang menggembirakan. Setiap orang yang jumpa dengan beliau, apalagi sampai mendengarkan pidatonya, pastilah akan tertarik. Terutama di saat beliau mentalqinkan dzikir atau membaca sholawat dengan suara mengharukan, disertai tetesan air mata, maka segenap yang hadir turut meneteskan air mata. Dan yang demikian itu tidak mungkin jika tidak dikarenakan keluar dari suatu hati yang ikhlas, hati yang disinari oleh nur iman dan nur mahabbah kepada Alloh dan Rasul-Nya SAW.

Akhirnya sampailah waktu dimana beliau memenuhi panggilan Allah. Beliau berpulang ke haribaan Allah pada hari Minggu tanggal 20 Rajab 1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta, dalam usia 102 tahun menurut Hijriyah atau usia 98 tahun menurut perhitungan Masehi. Ungkapan duka cita mengiringi kepergian beliau. Masyarakat berbondong-bondong hadir mengikuti prosesi pemakaman beliau…dalam suasana sendu dan syahdu. Seorang ulama besar telah berpulang, namun jasa-jasa dan ahklak mulia beliau masih tetap terkenang…menembus batasan ruang dan zaman.

Habib Ali bin Husein Al Athos (Bungur)

Jakarta dengan predikat sebagai kota metropolitan , dengan hingar bingar tempat hiburan dan maksiat yang merajalela. Kalau bukan karena cinta Alloh kepada Ulama dan Habaib yang senantiasa menggelar majlis majlis ilmu dan majlis majlis dzikir Sudah Alloh luluh lantahkan kota jakarta ini . Majlis ilmu dan dzikir yang telah meredam murka Alloh. Ulama dan habaib yang menjadi Paku dan benteng dalam mengajak umat untuk selalu taat terhadap perintah Alloh.
3-habaib
Sekitar tahun 1940 Jakarta atau dulu di sebut Betawi punya Banyak Tokoh ulama dan pejuang dan yang paling menjadi panutan dan memiliki banyak murid yang tersebar di tanah air adalah Habib Ali al habsyi, habib Ali bin husen Al athos dan habib Salim bin Jindan. Trio Ulama tersebut yang dengan gencar memperjuangkan Syiar-syiar agama alloh.
Habib Ali bin Husein Al athos adalah  Ulama kelahiran Hadro maut terkenal dengan julukan Habib Ali Bungur. Lahir di Huroidhah 1 muharam 1309 H atau bertepatan 1889 M . Nama lengkap beliau Al-Habib Ali bin Husein bin Muhammad bin Husein bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin Husein bin Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas. Sejak kecil habib ali belajar kepada para ulama – ulama Setempat , sejak dulu sampai saat ini kota Hadro maut gudangnya para ulama dan auliya, bahkan salah seorang ulama di Jawa timur   bahwa tukang sapu ditarim banyak berpredikat sebagai Wali, itu baru tukang sapunya bagaimana dengan Ulamanya. Setelah sekian lama belajar di kotanya Habib ali melakukan pengembaraan ke kota suci mekkah untuk bejalar sekaligus menunaikan ibadah haji. Di Mekkah habib ali mempergunakan waktunya untuk belajar kepada para ulama setempat . Kurang lebih 4 tahun lamanya beliau di Mekkah akhirnya sekitar tahun 1916 Habib Ali melakukan dakwah ke berbagai negara hingga akhirnya Beliau Singgah dan menetap di Jakarta . Di samping melakukan Dakwah di Jakarta Habib Ali juga tak segan segan untuk belajar dan mengambil Tabaruk dari Para ulama -ulama Sepuh di tanah air, Seperti habib Muhammad al muhdhor (bondowoso ), Habib Abdullohbin Muhsin Al athos ( Bogor).
Pergolakan politik di tanah air memicu juga semangat Habib Ali Bungur untuk mengobarkan semangat Jihad melawan penjajah dan komunis yang telah cukup lama membuat bangsa indonesia menderita belum lagi para penjajah melakukan Misi menyebarkan Agama Nasrani dengan melakukan tebar pesona dan simpatik agar rakyat yang telah menderita mau mengikuti agamanya . Belum lagi muncul nya aliran Komunis anti Tuhan ( atheis ) yang bernaung di bawah partai PKI Hal inilah yang membuat Habib Ali bungur dan Para Ulama ulama betawi lainnya berusaha sekuat tenaga menjaga Aqidah umat Islam agar mereka terbentengi dan tetap teguh memegang ajaran Islam yang sebenarnya.
Habib Ali bungur sosok ulama yang tawadhu dan konsisten dalam menjalankan ajaran agama, Wibawa dan pengaruh beliau sangat besar dalam perkembangan islam di Betawi, beliau tak segan segan menegur pejabat dan aparat pemerintahan yang singgah kerumahnya untuk lebih mencintai warganya. Kehidupannya sangat sederhana tak silau dengan gemerlap dunia. Walaupun demikian beliau menganjurkan agar Rakyat hidup berkecukupan dan tidak menderita.
Salah seorang ulama dan pengasuh Pon -pes Darul Hadist Al faqihiyyah malang  Al marhum Al habib Abdulloh bil Faqih  pernah mengatakan bahwa Habib Ali bungur adalah seorang Wali Qutub di jamannya dan seorang pemimpin Rohani Islam yang selalu konsiten mengamalkan syariat-syariat Islam .
Ulama – ulama besar betawi banyak belajar kepada Habib Ali Bungur diantaranya seperti KH Abdullah Syafi`i, KH Tohir Rohili, KH Fatullah Harun, KH Hasbialloh, KH Ahmad Zayadi Muhajir, KH Achmad Mursyidi, Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Ad-Dary, mu`allim KH M Syafi`i Hadzami dan masih banyak lagi murid-murid beliau yang tersebar di tanah air.
Habib Ali bungur sangat mencintai dan menghormati para ulama shalafus Sholeh hingga beliau mengarang kitab tentang sejarah perjalanan ulama -ulama Hadro maut dari tanah kelahirannya sampai ke indonesia. Kitab tersebut di beri judul Tajul A’ras fi Manaqib Al-Qutub Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Attas, disamping memuat Manakib shalafus Sholeh juga Kitab tersebut berisi Mutiara – mutiara Tashauf dan Thariqoh Alawiyyah .
Pagi tanggal 16 Feburuari 1976 Habib Ali Bungur menghembuskan Napasnya yang terakhir, Langit Jakarta menjadi mendung tetesan dan linangan air mata mengalir dari murid murid beliau dan rakyat yang sangat mencintai beliau . Ribuan Peziarah berdatangan dari berbagai pelosok nusantara untuk memberikan penghormatan terakhir, Jakarta kehilangan sosok ulama yang menjadi panutan dan guru para ulama di Jakarta.

Dakwah Habib HAsan bin Ja'far Assegaf

     Habib Hasan adalah anak sulung Habib Ja’far Assegaf yang lahir di Bogor pada 26 Februari 1977. Ia mendapat pendidikan awal dari ayahnya, kemudian meneruskan ke Pesantren Darul Hadits dan Darut Tauhid di Malang selama tiga tahun. Setelah itu ia juga sempat mengambil kuliah di IAIN Sunan Ampel, Malang.

Tahun 1998, Habib Hasan membuka sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan. Pengajian digelar di kediamannya, di Bogor, tepat di belakang rumah Habib Kramat Empang, Bogor.

Pada suatu malam, setelah shalat Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah ke makam kakeknya, Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib Hasan bermimpi. “Ana bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad). Dalam mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana berdakwah di Jakarta,” tutur Habib Hasan.

Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.

Cahaya Manusia Pilihan


Awalnya dia berkeliling dari rumah ke rumah murid-muridnya.

Enam bulan kemudian, seorang jama’ah datang kepadanya dengan membawa seorang pria berumur separuh baya. Pria itu minta agar Habib Hasan bersedia mengobati kakinya.

“Ketika itu ana bingung, karena ana belum pernah menangani hal demikian,” kenangnya. Namun, karena tidak ingin mengecewakan tamunya, Habib Hasan kemudian mengambil sebotol air putih dan membacakan Ratib Alattas. Botol itu kemudian diserahkan kepada si sakit dengan pesan agar diminum setibanya di rumah.

“Dua hari kemudian orang itu kembali kemari dalam keadaan sembuh,” ujar Habib Hasan.

Entah bagaimana, rupanya peristiwa itu menyebar sehingga nama Habib Hasan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural. Namun yang jelas, sejak itu, jama’ahnya pun bertambah secara signifikan, menjadi seratus orang.

Awal 1999, Habib Umar bin Hud Cipayung wafat. Habib Umar adalah teman kakek Habib Hasan. Untuk menghormati teman kakeknya itu, Habib Hasan mencium kening almarhum dan berdoa, “Ya Allah, jadikan aku seperti almarhum dalam hal ilmu dan amal.”

Satu bulan kemudian, jama’ah bertambah lagi, menjadi empat ratus orang.

Karena pertambahan jama’ah yang cukup besar itu, pada akhir tahun 1999, atas saran H. Jamalih bin H. Piun, sesepuh setempat, ia memindahkan tempat ta’lim ke Masjid Al-Ahyar di Kampung Kandang.
Ketika saran itu dilaksanakan, yang hadir ada sekitar lima ratus orang.

Selanjutnya, jalan lebar seperti terbuka dengan sendirinya. Masjid-masjid sekitar Cilandak membuka pintunya lebar-lebar untuk menampung acara majelis ta’lim Al-Irfan.

Tahun 2000, jama’ahnya bertambah lagi menjadi sekitar delapan ratus orang, yang berdatangan dari seluruh penjuru Jakarta.

Melihat hal itu, Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadhramaut, setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis Al-Habsyi, mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”, yang maknanya “Cahaya Manusia Pilihan”.

Dua tahun kemudian, 2002, syiar majelis ta’lim Nurul Musthofa kian meluas. Mulai dari Warung Buncit, Mampang Prapatan, Kuningan, Kalibata, hingga Kreo. Jumlah jama’ahnya pun bertambah, menjadi sekitar dua ribu orang.

Tahun 2003, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikunjungi ulama-ulama besar, seperti Habib Abdul Qadir Al-Masyhur dari Makkah, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dan putranya, Habib Muhammad, dari Madinah, juga Habib Salim Asy-Syatiri dari Tarim, Hadhramaut.

Fitnah Berdatangan

Tahun 2003 adalah tahun ujian bagi Habib Hasan. Selain ayahnya, Habib Ja’far, wafat pada bulan haji, fitnah pun berdatangan kepadanya. Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikatakan sebagai majelis bid’ah, majelis syirik. Malah suatu hari, ketika ia bangun tidur, ranjangnya penuh dengan kalajengking.

Maka Habib Hasan pun segera bangkit dari tidur dan berdoa.

Dalam sekejap kalajengking-kalajengking itu mati semua.

Pada kali yang lain ia menemukan seekor ular di kamarnya.

Bahkan pernah selama satu bulan kakinya tidak bisa digerakkan. Selama itu kegiatan ta’lim diserahkan kepada adiknya, Habib Abdullah.

Kakinya sembuh berkat bacaan rutin Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘adhim, Astaghfirullah.

Sempat terlintas dalam benaknya akan meninggalkan kegiatan majelis ta’limnya itu. Tapi dibatalkan, karena tidak disetujui Al-Alamah Habib Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri.

Setelah mendapat dukungan Habib Abdurrahman, hatinya semakin mantap. Dan untuk menghadapi fitnah-fitnah itu, Habib Hasan melakukan ziarah ke makam para shalihin di berbagai tempat, seperti di Luar Batang, Kwitang, Bogor, Tegal, Pekalongan, Solo, Gresik, Surabaya, Bangil, Malang, dan lain-lain.

Keinginan Ibu

Suatu hari, Habib Hasan mengemukakan kepada ibunya bahwa ia ingin menikah.

Sang ibu merasa sangat bersyukur. Maklum, Habib Hasan adalah anak sulung. Lantas ibunya menyodorkan 40 foto syarifah.

Habib Hasan kemudian mengambil satu dan menyimpan di kantung bajunya tanpa melihat wajah di gambar itu.

Esok harinya ia pergi ke Tegal, dan memakai baju yang sama. Jadi ia yakin bahwa foto syarifah pemberian ibunya itu masih ada di kantung baju.

Namun, ketika sampai di Tegal, foto itu raib.

Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Solo.

Ketika sampai di rumah Al-‘Alamah Habib Anis Al-Habsyi di Solo, di kantungnya terasa ada sesuatu yang mengganjal. Setelah diraba, ternyata ganjalan itu adalah sebuah foto, yaitu foto syarifah pemberian ibunya.

Saat bertemu Habib Anis, Habib Hasan minta pendapatnya tentang calon istrinya yang wajahnya ada di dalam foto itu. Padahal sampai detik itu ia belum melihat wajah di foto itu.

Dan ternyata Habib Anis menyatakan persetujuannya terhadap calon tersebut.

Sekembalinya ke Bogor, kepada ibunya Habib Hasan menceritakan pertemuannya dengan Habib Anis.
Maka keluarganya pun segera mempersiapkan acara untuk melamar gadis itu. Pada saat itulah Habib Hasan baru berani melihat wajah di foto yang telah dibawanya ke mana-mana itu, yang ternyata adalah Syarifah Muznah binti Ahmad Al-Haddad, keponakan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Haddad, Condet.
Lamaran tidak bertepuk sebelah tangan.

Sebulan kemudian, pernikahan dua sejoli itu dilangsungkan di rumah mempelai perempuan.

Kini pasangan itu telah dikaruniai tiga orang anak: Rogayah, 8 tahun, Attos Abdullah, 7 tahun, dan Ali, 6 tahun.

Setelah Habib Hasan berkeluarga, semuanya jadi tambah lancar. Jama’ahnya bertambah hingga enam ribu orang, tersebar di Jakarta Selatan dan Timur. Bahkan tahun 2005 jumlah jama’ah mencapai 15 ribu orang.

Tahun berikutnya, Habib Hasan pindah ke Kampung Manggis di depan kantor Darul Aitam di Jalan Kahfi I, Jakarta Selatan. Di situ dia membangun rumah dan mushalla di atas tanah hibah dari H. Abdul Gofar, Hj. Nur Utami, dan H. Masturoh.

Pada tahun itu juga Habib Hasan mengukuhkan Yayasan Nurul Musthofa, yang diketuai oleh adiknya, Habib Abdullah bin Ja’far Assegaf, dan dia sendiri, dengan izin resmi dari Departemen Agama.

Tahun 2006, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berkembang semakin pesat.

Pada tahun ini pula, Habib Hasan mulai mendiami rumahnya sendiri yang juga menjadi kantor sekretariat Yayasan Nurul Musthofa.

Ulam Tiba

Pada tahun 2007, Yayasan Nurul Musthofa mulai mendirikan gedung khusus untuk kegiatan ta’lim di atas tanah hibah, yang terletak persis di belakang kediaman Habib Hasan. Padahal saat itu kontur tanah tersebut miring sehingga sulit untuk segera bisa merealisasikan pembangunan tersebut.

Tanah itu perlu diurug. Namun untuk mengurug dibutuhkan tanah yang tidak sedikit. Apalagi kiri-kanan lahan tanah tersebut telah dibatasi tembok-tembok tetangga.

Ketika menyadari hal itu, Rahman, tangan kanan Habib Hasan, menyatakan pesimistis.

Namun Habib Hasan dengan tenang menjawab, “Sabar saja, nanti juga akan ada tanah untuk mengurug.”

Benar juga, beberapa hari kemudian, Rahman menerima kedatangan tetangga sebelah yang merencanakan ingin membuat kolam renang, sehingga akan membuang tanah yang cukup banyak.

“Pucuk dicita, ulam tiba,” kata Rahman.

Maka, tanpa kesulitan, tanah dari tetangga sebelah dipindahkan ke rumah Habib Hasan.

Agenda Dakwah

Kegiatan Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berjalan sejak Senin sampai Sabtu, ba’da maghrib, yang dihadiri sekitar 300 sampai 400 jama’ah.

Malam Senin, pembacaan kitab Syarah Ainiyah, karya Habib Ahmad bin Hasan Alattas. Malam Selasa, pembacaan Safinatun Najah, diikuti dengan ziarah ke Makam Habib Kuncung di Kalibata. Malam Rabu, pembacaan shalawat dan kitab Riyadhus Shalihin. Malam Kamis pembacaan nama-nama Nabi SAW dengan qashidahan. Malam Jum’at, pembacaan Dalailul Khairat dan kitab Arbain Imam Nawawi, diteruskan ziarah ke makam Habib Salim bin Toha Al-Haddad. Dan malam Sabtu, pembacaan kitab Aqidatul Awam.

Pada malam Ahad, Habib Hasan mengerahkan jama’ahanya untuk mengikuti majelis ta’lim yang berpindah-pindah sesuai undangan.

Para jama’ah itu dikoordinir di suatu tempat yang strategis dan kemudian membentuk konvoi menuju ke tempat acara bersama dia dan krunya dalam iring-iringan kendaraan roda empat dan roda dua. Di sepanjang jalan mereka mengumandangkan kalimah-kalimah tauhid dan sejenisnya.

Ketika sampai di tujuan, di sana ribuan jama’ah yang lain telah menanti. Dan angkasa pun dimeriahkan dengan dentuman dan kilatan kembang api.

Setelah itu, acara ta’lim dimulai dan berlangsung sekitar dua sampai tiga jam.

Sekitar jam 00.00 acara usai dan para jama’ah membubarkan diri dengan tertib.

Di rumahnya, Habib Hasan masih menggelar pengajian hingga subuh tiba....

Rabu, 27 Oktober 2010

Bingkai Kehidupan



Mengarungi Samudra Kehidupan
Kita Ibarat Pada Pengembara
Hidup ini Adalah Perjuangan
Tiada Masa Tuk Berpangku Tangan

Setiap Tetes Peluh dan Darah
Tak Akan Sirna Ditelan Masa
Segores Luka Dijalan Allah
Kan Menjadi Saksi Pengorbanan

Allah Ghayatuna
Ar-rasul Qudwatuna
Al-quran Dusturuna
Al-jihadu Sablluna
Al-mautu fi Sabilillah Asma Amanina

Allah Adalah Tujuan Kami
Al-quran Pedoman Hidup Kami
Jihad Adalah Jalan Juang Kami
Mati Di Jalan Allah Adalah
Cita-cita Kami Tertinggi